Pagi yang
cerah, Sang mentari menyinarkan sinar abadinya seperti biasa. Begitu pula suara
burung-burung gereja yang bersemayam di pohon cemara dekat kolam ikan koi.
Ditambah hiruk pikuk suara mesin bis yang sudah dipenuhi penumpang dan
kendaraan bermotor lainnya yang hilir mudik di jalan raya tepat di depan rumahku. Tak
ketinggalan aroma sedap masakan mama tercinta yang tak kalah lezat dengan
masakan chine’s food atau france’s food. Sungguh pagi yang sempurna. Aku telah
selesai sarapan dan segera meluncur ke tempat studiku. Seperti biasa, aku
menjadi pendatang pertama di kelas. Memang sejak SD, aku sudah mendapat
predikat siswa terrajin di kelas dan di pertemananku. Aku sudah terbiasa dengan
hal ini. Karena sejak kecil aku dipaksa untuk menjadi anak yang disiplin.
Bahkan tak pernah sekalipun aku terlambat atau bahkan bangun kesiangan. Kalimat
itu takkan pernah ada dalam kamus hidupku. Aku mulai membaca buku teori evolusi
darwin yang baru kubeli kemarin hanya untuk sekedar menghilangkan kesendirianku.
Kelas masih terasa sunyi hingga jarum jam menunjukkan pukul 06.10 wib. Maklum
saja, bel masuk masih akan berdering duapuluh menit lagi. Halaman demi halaman telah
kubaca hingga pada halaman 72. Akhirnya suasana kelas mulai ricuh, satu
persatu penghuni kelas telah datang, meski belum begitu banyak. Terlihat pula
populasi hawa yang sedang asyik bergosip ria di bangku belakang. Jelas
terdengar mereka membicarakan gosip selebriti-selebriti tanah air yang terupdate. Ada pula yang datang
terengah-engah karena kabur dari kejaran petugas tatib yang telah mengintainya
sejak di ujung jalan depan sekolah.
” hey Bro... baca buku apaan tuh?,
asik banget…..”
“ehh, kamu udah datang. Kapan datangnya? Kok aku nggak
tau kamu datang". Jawab Deva tanpa ekspresi.
”tuhh kan
temennya dateng aja kamu nggak nyadar. Asik sendiri sih kamu". Balas Wicky
sedikit kesel.
”ya
maaf.... habis bukunya seru banget. Apalagi sesuai dengan bahasan kita nanti.”
“emang
buku apaan sihh, tuebell banget.....”
”buku sains, tentang Teori Evolusi Darwin. Aku baru beli
kemaren, kamu mau pinjem?.”
”hahhh.... nggak heran deh, seorang Andreva Raditya nggak akan pernah lepas dari buku sains. Ogah ahh Dev, denger
judulnya aja aku udah ngantuk. Apalagi mau baca buku setebel itu. Bisa pake
kacamata kuda aku ntar.... jawab Wicky sambil cekikikan.”
Tet....tet....tet.......
Bel tiga
kali telah berdering. Tanda proses belajar mengajar akan segera dimulai. Aku
mendengarkan penjelasan yang disampaikan bapak ibu guru dengan amat sangat seksama. Materi demi materi telah menancap dalam memoriku, hingga tak terasa bel pulang begitu cepat berbunyi.
Segera aku menuju mushola untuk sholat dzuhur berjamaah. Lima menit kemudian sholat
telah usai, satu persatu jamaah telah bergegas pulang.
”Dev... Deva.... panggil Naya dari belakang.”
”Iya, ada apa Nay?”
”aku mau
minta tolong sama kamu. Ajarin aku fisika dong Dev, aku nggak ngerti tentang
materi yang dijelaskan pak Sarno tadi. Plisss.... kamu nggak ada acara kan?”
”mmmmht....
nggak ada kok. Okelah, aku bisa bantu kamu. Emang yang nggak ngerti yang mana?”
”itu loo,
tentang bahasan yang ini. Duhhh, susah banget aku nggak ngerti-ngerti.”
”ohh... yang ini. Gini loo.... jelas
deva pada naya panjang lebar”
“ohh...
begitu ya. Akhirnya... paham juga. Makasih banyak ya Dev. Kamu emang teman yang paling baik
dan genius dehh pokoknya. Sorry nihh, aku udah ngrepotin kamu. Lebih tepatnya
sering ngrepotin kamu sihh. Hhehee....”
”ahh nggak
apa-apa Nay, sesama teman kan harus saling membantu. Lagi pula buat apa aku
pintar kalau nggak mau bantu temen. Kalau ada kesulitan lagi tanyain aja ke
aku". Jawab Deva.
”bener
nihh?....”
”iya.”
”ya udah,
sekali lagi makasih banyak ya Dev. Kalau begitu aku pulang dulu. Kamu hati-hati
ya dijalan. Ucap Naya mengakhiri diskusi mereka.”
”yupp...
balas Deva singkat.”
Akupun
segera pulang dengan tunggangan sehari-hariku yang setia menemani kemanapun aku
mau. Tak lupa kupakai kelengkapan berkendaraku demi melindungi isi kepala dan
tubuhku. Tapi yahh, beginilah diriku. Mengajari Naya yang baru saja kulakukan
bukanlah kali pertama bagiku. Berjibun orang selalu datang padaku, entah itu
tetangga, sepupu, ponakan, atau teman yang tak segan-segan memintaku untuk
menjadi guru mereka dan bahkan ada pula yang memintaku untuk menyelesaikan PR
mereka atau juga hanya sekedar menjadi perpustakaan keliling. Namun, aku tak pernah
keberatan melakukan itu semua. Tapi terkadang aku merasa kesal jika mereka tak
kunjung paham. Sesungguhnya aku tak ingin terlalu bangga dengan apa yang telah
kuraih dan kumiliki. Prestasi dan penghargaan yang bertubi-tubi kuraih dengan
mudah, mulai dari piala olimpiade sains,
lomba cerdas cermat, juara umum hingga predikat siswa terbaik dan paling
berprestasi tingkat nasionalpun telah kuraih. Berbagai piala telah bertengger baik di etalase
sekolah maupun ruang kamarku hingga tak ada celah lagi untuk memajangnya. Sampai-sampai tak ada cerita masa remajaku yang
begitu spesial. Semua terkesan monoton dan hanya berlalu dengan prestasi, piala, pujian
dan penghargaan. Tak seperti remaja-remaja lain yang sibuk menebar pesona pada cewek-cewek cantik, pacaran dengan cewek
sana-sini, ngegombalin cewek, dan pokoknya semua tentang lawan jenis tak masuk dalam
catatan masa remajaku. Namun aku sangatlah bangga dengan diriku. Dan apa mau
dikata, takdir tak dapat dihindari, dan inilah perjalanan hidupku.
*****
Detik demi
detik, hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun bangku SMA aku
lalui dengan bahagia tanpa ada sedikit cacat. Semua kuraih dengan sempurna. Tak
terasa masa abu-abu akan segera berakhir. Hiruk pikuk kelas, saat guru sedang
marah, ulangan harian, cinlok, nyontek, persaingan nilai, remidi,
marah-marahan dengan teman, canda tawa, upacara tiap hari senin dan bahkan
seragam putih abu-abu akan segera berlalu. Ujian Akhir Nasional sudah didepan
mata. Besok perjuangan selama 3 tahun akan dipertaruhkan di atas selembar
kertas berstempel Dinas Pendidikan. Usaha dan doa tak henti-hentinya ku
lakukan agar dapat memperoleh kertas berstempel Dinas Pendidikan yang
bertuliskan kata ”LULUS” dan tentunya dengan hasil yang sempurna.
Tak terasa
matahari telah menuju ufuk barat. Langit mulai gelap dan sang matahari telah
berganti bulan. Malam sungguh menakjubkan, berhiaskan bulan sabit yang bersinar
terang serta hamburan bintang melengkapi hamparan langit yang luas. Termasuk
satu bintangku yang malam ini bersinar paling terang. Namun entah mengapa malam
ini perasaanku sedikit tidak tenang. Mungkin karena besok aku harus berjuang
demi masa depanku dan demi mama. Satu-satunya penyemangat hidup yang masih
kupunya. Lebih jelasnya lagi aku sudah tak punya papa sejak usiaku masih 8
tahun. Aku sendiri tak ingat pasti bagaimana kronologi kecelakaan yang
merenggut nyawa papa dan adikku yang ketika itu masih sangat balita. Entah
mengapa Tuhan hanya mengizinkan aku dan mama yang tetap bertahan hidup di dunia
ini hanya untuk mencicipi pahitnya kenyataan.
” tok ...
tok ... tok ... Deva.”
Aku sontak
tersadar dari lamunanku. Terdengar suara dari balik pintu kamar. Suara yang
sangat lembut dan lirih, suara yang penuh kehangatan dan kasih sayang yang
takkan sirna sampai kapanpun.
”iya
ma.... jawabku sembari berdiri diikuti langkah kakiku.”
”kamu nggak
belajar?, tanya mama ingin tau.”
”emmmb...
udah selesai dong ma. Semua materi mulai dari A sampai Z pun aku udah hafal.”
“jangan
begitu. Kamu nggak boleh sombong Deva. Mama tau kamu anak yang cerdas. Segala
penghargaan telah kamu raih. Tapi kalau hati kamu sombong, dalam sekejap semua
itu akan sirna dan sia-sia.”
”iya
ma.... mama tenang aja, Deva selalu teliti dan penuh kehati-hatian dalam
mengerjakan sesuatu. Ini bahkan lebih mudah bila dibandingkan saat Deva harus
mewakili olimpiade kimia di Jepang.”
”ya sudah,
cepat tidur. Jangan lupa berdoa dan jangan lupa sama nasehat mama. Selamat
malam...." ucap mama sambil pergi meninggalkanku.
”selamat
malam juga ma....”
Namun
entah mengapa malam ini hujan turun begitu lebat. Disertai angin dan halilintar
bersahut-sahutan. Terasa tak seperti biasanya, malam ini terasa begitu dingin sampai
menusuk hingga ke ulu hati. Serta suara petir yang tak henti-hentinya
menggelegar. Ingin aku tak terhanyut dalam suasana seram itu, namun semakin
larut mataku semakin sulit kupejamkan. Hatiku semakin terasa tak
tenang, takut, cemas, gusar, bingung dan entah apa lagi aku sendiri merasa lain
malam ini. Aku tenangkan semua itu dengan minum air putih sebelum selanjutnya
mengambil air wudhu dan sholat tahajud. Akhirnya pagi pun menjelang. Aku
berangkat ke sekolah dengan hati, mental, dan pikiran seperti biasanya tanpa ada beban walau kejadian
hari inilah yang akan menentukan masa depanku kelak.
Tet…tet…tet…..
Bel telah
berbunyi. Semua murid bergegas memasuki kelas sesuai dengan bangku
masing-masing. Tak lama kemudian pengawas mulai memasuki kelas dan selang
beberapa waktu kami telah memulai mengerjakan soal. Dua jam telah berlalu, bel
berakhirnya mengerjakan soal telah berdering. Kami semua harus mengumpulkan
lembar jawaban pada pengawas. Seusai itu, kami semua diperbolehkan pulang
kerumah masing-masing. Begitu pula hari-hari berikutnya tetap berjalan seperti
hari ini. Tak ada soal yang kurasa sulit. Aku mengerjakan soal-soal UN itu
dengan mudah dan aku sangat percaya diri bahwa akulah yang akan menjadi lulusan
terbaik tingkat nasional tahun ini. Hingga tak terasa hari yang ditunggu-tunggu
para kaum putih abu-abu besok akan tiba. Yahh, pengumuman hasil UN kami akan
dibacakan besok. Dengan penuh kebanggaan dan kepedean, aku sudah menyiapkan
kata-kata bilamana teman-teman berbondong-bondong mengucapkan selamat atas
kesempurnaan UN ku besok. Namun apa mau dikata, tak ada yang tau takdir Ilahi
pada umatnya.
*****
Pagi telah
tiba, dan kini jarum jam tepat menunjuk ke angka 6 dan 12 atau bisa
diterjemahkan menjadi jam 6 pagi. Tidurku semalam terasa lebih nyenyak, tak
seperti sebelum-sebelumnya. Padahal aku tau empat jam lagi penentu masa depanku
akan diumumkan. Hasil UN yang telah dinanti berjuta-juta kaum SMA akhirnya
sudah di pelupuk mata. Termasuk diriku yang tak merasakan firasat apa-apa. Hari
ini semua terasa biasa, tapi ada sesuatu yang menghantui diriku yang selalu
hadir dalam bunga tidurku semenjak UN berlangsung dan tiga hari sebelum hari
ini. Entah apa itu, hanya terlihat sesosok hitam dan kelam kemudian lenyap
dalam kegelapan. Hingga saat inipun, sosok misterius dalam mimpiku itu masih
menjadi teka-teki besar bagiku. Adakah arti dari mimpi itu. Entahlah , namun
aku hanya menganggap itu sebagai bunga tidur yang tak berarti apa-apa. Untuk
apa memikirkan hal yang masih tabu, padahal berpikir rasional adalah prinsipku.
”Dev, ayo
cepat berangkat. Mama sudah siap. Seru mama sambil menyemprotkam parfum jasmine
yang menambah aroma elegan ke tubuhnya.”
”iya
ma...." sahut ku dari dalam kamar.
Lima belas
menit kemudian sampailah kami di sekolah. Semua wali murid mulai memadati kelas
yang telah ditentukan sebelumnya. Aku dan teman-teman sudah tak sabar
meneriakkan kata LULUS yang sudah sampai di ubun-ubun ini. Detik-detik
menegangkan telah dimulai. Satu persatu wali murid telah keluar dengan membawa
amplop putih di tangan kanan mereka. Kini semua telah bersorak-sorai meluapkan
kelulusan mereka yang sudah tak terbendung lagi.
”horre....
AKU LULUS!!!... Thank’s god!!" teriak Wicky, teman sebangkuku.
Sedangkan
teman-teman lainnya ada yang menangis terharu amat bahagia, ada yang langsung
sujud syukur, ada yang berteriak-teriak lulus tak henti-hentinya dan adapula
yang meluapkan kebahagiaan mereka dengan menciumi orangtua mereka.
”hey coy,
gimana milikmu? Hhahaha... aku sangat teramat seneng banget Dev. Akhirnya nggak
sia-sia aku jadi temen sebangkumu selama ini. Thank’s ya lu udah ngasih gue
contekan. Cerocos Wicky yang tampak sangat bahagia.”
”he’emm....
jawabku singkat”
Tapi entah
mengapa ada yang aneh kali ini. Semua teman-temanku telah meraih hasil lulus
mereka, tapi kenapa hingga saat ini mama belum juga keluar membawa amplopku.
Selidikku dalam hati penuh tanda tanya. Mungkinkah karena hasilku yang begitu cumlaude, hingga amplopku diberikan yang
paling akhir. Seharusnya tidak, tapi aku mencoba tetap berdiri disini penuh
kesabaran. Sampai akhirnya retinaku menemukan sosok penuh kasih sayang itu.
Yahh.... akhirnya mama keluar beserta amplop itu. Segera kubuka dan kuperhatikan
benar secara seksama sebuah kata yang tertulis diatas selembar kertas putih
itu. Bagai tersambar petir disiang bolong, aku sungguh tak percaya dengan
torehan tinta ini. Tak terbesit sedikitpun dalam pikir akan jalan hidupku yang
seperti ini. Bahkan inipun seribu kali lebih mengerikan dibanding jatuh ke
dalam jurang, melihat pembunuhan, atau bahkan melihat setanpun akan mengalahkan
rasa yang sedang kualami ini. ”TIDAK LULUS”, dua kata yang menjadi momok UN dan
tak ada seorangpun yang mau memperoleh kata itu. Dan secepat kilat pula, kabar
ini telah menyebar ke seluruh penjuru telinga. Semua guru, teman, tetangga,
kerabat serta orang-orang yang mengenal akan prestasiku selama ini, amat sangat
terkejut sekali dengan hal ini. Begitu pula mama dan terlebih aku.
*****
Semenjak
hari itu, tepatnya setelah aku dinyatakan tidak lulus hidupku berubah 360
derajat. Dalam sekejap semua prestasi, piala dan penghargaan itu sudah tak
berarti apa-apa lagi. Diriku semakin depresi akibat tak mampu menerima
kenyataan yang ada. Hal itu telah menghancurkan mentalku. Aku malu dengan teman-temanku, guru-guruku, tetangganku, sanak saudaraku, dan terutama aku malu pada mama. Aku mulai berontak
dan meluapkan emosiku pada jalan yang salah. Merokok, mabuk, dugem telah mendarah daging dalam jiwaku. Aku tak
peduli apa kata orang, aku benci mereka semua, aku benci guru, aku benci menjadi
anak baik lagi dan aku benci Tuhan yang telah menimpakan takdir seperti ini
padaku. Tak pernah aku melewatkan perintahnya mulai dari yang wajib hingga yang
sunnah sekalipun, tak pernah absen sholat lima waktu, sholat sunnah, membagi
ilmuku pada teman-teman, puasa sunnah, dan tak henti-hentinya bersyukur dengan
bersedekah pada anak yatim. Namun, Engkau balas semua takwaku dengan kenyataan
pahit ini. Tuhan memang tak adil, mengapa mereka yang bodohpun bisa lulus namun
aku yang begitu jenius tidak lulus.
Kini
akupun semakin menjadi-jadi. Sejak mengenal narkoba aku mulai menemukan hal
yang lebih gila lagi. Dengan narkoba aku bisa melupakan semua kenyataan pahit
ini. Dengan narkoba pula aku mulai melakukan seks bebas. Aku
menghambur-hamburkan uang hanya untuk memperoleh kenikmatan sesaat. Hingga
suatu hari nyawaku hampir melayang akibat overdosis. Untung saja mama segera
melarikanku ke Rumah Sakit. Selama ini mama tak mengetahui bahwa aku telah
menggunakan narkoba. Maklum saja, mama terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tak sempat satu menit saja menanyakan kabarku. Sejak kejadian itu, semua
harta terkuras habis karena digunakan untuk membiayai pengobatanku. Setiap kali
aku usai direhabilitasi, aku mulai kecanduan lagi, begitu seterusnya. Hingga
suatu hari mama dipanggil oleh Sang Maha Pencipta dan pergi dari sisiku untuk
selama-lamanya dalam kehidupannya yang begitu berat akibat ulah-ulah bodohku.
Kini aku tak punya siapa-siapa lagi hingga waktu ajalku tiba nanti.
*****
1 tahun
kemudian.....
Aku terbaring lemah tak berdaya di dalam sebuah kamar
sederhana bercat putih yang hanya berhiaskan foto mama yang sengaja kuminta untuk dipasang
tepat di depan tempatku tidur. Tak kuasa rasanya melihat tubuhku yang semakin hari
semakin kering kerontang hingga tinggal tulang belulang. Kini hidupku sudah
benar-benar tak berarti lagi. Setahun yang lalu, setelah mama dipanggil Sang
Pencipta dokter memvonisku positif terinfeksi HIV AIDS akibat pergaulan
bebasku. Ajal terasa semakin dekat, bahkan sangat dekat. Dan kini terasa sudah
sampai di urat leherku. Hingga tepat pukul 04.00 pagi, akhirnya aku
mengehembuskan nafas terakhirku. Entah siksaan macam apa yang akan aku terima
di neraka nanti. Namun dalam lubuk hatiku yang terdalam, 24 jam sebelum
malaikat izrail menjemputku, hatiku terketuk sebuah rasa sesal dan malu rasanya
diri ini pada Tuhan. Ingin aku kembali ke masa lalu dan menghapus semua yang
telah kulakukan. Aku menyadari bahwa diri ini terlalu sombong hingga Engkau
memberi cobaan yang ternyata aku tak mau melawannya. Akulah orang terbodoh di
dunia ini. Aku telah meninggalkan ajaran-Mu dan memilih jalan yang sesat. Aku
terlampau asyik dengan dunia baruku hingga aku mengerjakan semua yang Engkau
larang. Kini, aku baru menyadari arti pertanda-Mu itu. Ya Tuhan.... maafkanku.
Dengan kesungguhan hati aku kembali bersimpuh kepada Mu dan rasanya diri ini
haus akan sholat-Mu, puasa-Mu, dan semua perintah-Mu. Kutahu, pintu taubat-Mu
selalu terbuka, namun aku tak mau terlambat datang kesana. Bagaimanapun, di
pintu-Mu kelak aku mengetuk. Walau aku tak tau berapa lama lagi waktuku ini. Ya
Allah.... berilah senyum terakhir-Mu kepadaku sebelum mata ini tertutup
meninggalkan dunia yang sesaat ini. Dan damaikanlah raga ini di kehidupan yang
lebih kekal nanti.
**THE
END**